Mbak Tutut Komentari Stigma Korupsi Usai Soeharto Dapat Gelar Pahlawan
Presiden RI kedua Jenderal Soeharto resmi dapat gelar pahlawan-X-
JAKARTA, Weradio. co. id - Pemerintah akhirnya benar-benar memberikan gelar pahlawan untuk mantan Presiden RI kedua, Soeharto. Padahal penolakan terjadi dimana mana karena cap Soeharto suka korupsi dan melanggar HAM.
Putri Presiden RI ke-2 Soeharto, Siti Hardijanti Hastuti (Tutut Soeharto), menanggapi pro dan kontra penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada ayahandanya di Istana Negara, Jakarta, Senin.
Dalam pernyataannya seusai agenda itu, Tutut yang didampingi sang adik, Bambang Trihatmodjo, menyebut pro dan kontra yang muncul di masyarakat sebagai hal yang wajar dan bagian dari dinamika demokrasi.
“Pro kontra itu biasa, masyarakat Indonesia kan macam-macam. Yang penting kita melihat apa yang telah dilakukan Pak Harto dari sejak muda sampai beliau wafat, semua perjuangannya untuk masyarakat dan bangsa Indonesia,” ujarnya seperti dikutip Weradio dari antara.
Ia mengatakan, keluarga tidak memiliki dendam ataupun keberatan terhadap kritik yang muncul atas keputusan tersebut, yang terpenting adalah menjaga persatuan dan tidak bersikap berlebihan dalam menyikapi perbedaan pandangan.
"Kami keluarga tidak merasa dendam, karena kan kita negara kesatuan. Boleh saja kontra, tapi jangan ekstrem. Kita jaga persatuan dan kesatuan,” kata Tutut.
Peran Prabowo
Tutut menyampaikan rasa terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto yang telah menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Ia menilai keputusan itu lahir dari penilaian atas rekam jejak dan kontribusi Soeharto bagi pembangunan Indonesia.
BACA JUGA:IPM Meningkat, Bukti Nyata Sinergi Koordinasi Pembangunan Manusia
“Terima kasih banyak kepada Pak Presiden. Karena beliau tentara, jadi tahu apa yang telah dilakukan bapak. Tapi beliau juga melihat aspirasi masyarakat,” ucapnya.
Menanggapi pertanyaan mengapa gelar itu belum diberikan pada era presiden sebelumnya, Tutut menyebut bahwa saat itu pemerintah mempertimbangkan situasi dan kondisi masyarakat.
“Karena (Presiden sebelumnya) belum banyak kumpulkan (dukungan) supaya Pak Harto terpilih, juga untuk persatuan dan kesatuan Indonesia, supaya tidak ada yang marah. Sekarang rakyat sudah dewasa dan makin pintar,” ujarnya.