Pertarungan Simbol Jilbab di Turki, Dari Larangan Negara Menuju Kemenangan Politik
Yollanda Vusvita Sari, M.Pd-weradio.co.id-Dok.Pribadi
Kemenangan Politik dan Redefinisi Simbol
Keberhasilan AKP akhirnya datang melalui ketekunan dan perubahan konstelasi politik. Melalui paket demokratisasi pada 2013, larangan jilbab di lembaga publik, kecuali militer dan kepolisian, resmi dicabut. Pencabutan ini bersifat bertahap yaitu di Universitas Negeri (2013), Sekolah Menengah (2014), Kepolisian (2016), dan akhirnya Militer (2017).
Perubahan kebijakan ini adalah bentuk rekonstruksi makna institusional melalui bahasa hukum dan praktik administratif. Sesuai teori Blumer, perubahan makna mengubah tindakan. Perempuan berjilbab yang sebelumnya outsiders kini dapat memasuki ruang-ruang publik sebagai warga negara seutuhnya, mengubah etiket dan norma sosial secara perlahan.
Kemenangan politik jilbab mencapai titik puncaknya ketika pada tahun 2022 menjelang pemilu, baik pemerintah AKP maupun oposisi sekuler dari CHP sama-sama berjanji untuk melindungi hak perempuan berjilbab. Ini menandakan bahwa jilbab telah bergeser dari simbol kontestasi menjadi bagian yang diterima dari pluralisme Turki kontemporer.
Meskipun residu larangan di bidang tertentu tetap ada sebagai kompromi simbolik, perjalanan jilbab di Turki membuktikan tesis kunci interaksionisme simbolik yakni makna sosial bukanlah takdir. Melainkan hasil dari jutaan interaksi kecil, negosiasi, dan resistensi yang pada akhirnya mampu menata ulang cara sebuahbangsa mendefinisikan dirinya. Jilbab kini bukan lagi sekadar simbol pemberontakan atau kesalehan semata, tetapi telah menjadi penanda akan kompleksitas dan dinamika identitas kewarganegaraan republik modern.
*Penulis adalah Dosen Prodi Komunikasi IBI Kosgoro 1957, dan Wakil Ketua DPLN AMPI Turki