Implementasi Cultural Studies: Carmen dan Heart2Heart; Merajut Identitas Digital dalam Dunia K-Pop

Implementasi Cultural Studies: Carmen dan Heart2Heart;  Merajut Identitas Digital dalam Dunia K-Pop

Haura Asqo Balqis. -weradio.co.id-Dok/Pribadi

Oleh: Haura Asqo Balqis (*) 

Carmen, seorang gadis Bali yang kini jadi bagian dari grup K-pop Heart2Hearts (H2H), mengungkapkan bagaimana budaya global dan lokal bisa bertemu dalam dunia digital. Kehadirannya memberikan pengalaman baru bagi penggemar Indonesia, yang melihat Carmen sebagai simbol kebanggaan lokal di panggung internasional.

Namun, hal ini lebih dari sekadar kisah sukses, tapi sebagai implementasi bagaimana komunikasi budaya digital terbangun melalui interaksi sosial yang aktif antara penggemar dan idolanya.

Melalui teori Cultural Studies, kita bisa melihat bagaimana penggemar H2H tidak hanya mengonsumsi musik, tapi juga berpartisipasi dalam membentuk makna dan identitas budaya mereka melalui media sosial (Mawardani et al, 2025).

Carmen, sebagai ikon lokal, memberi ruang bagi penggemar Indonesia untuk menciptakan solidaritas kolektif yang menghubungkan mereka dengan dunia K-pop secara lebih mendalam. Media sosial menjadi ruang utama di mana fans saling berkolaborasi dan memperkuat ikatan mereka, menciptakan ruang sosial yang tidak terbatas oleh jarak atau budaya.

Teori Network Society oleh Manuel Castells memperkuat pandangan bahwa media digital bukan hanya alat komunikasi, tapi juga struktur sosial (Harmaini et al, 2025). Jaringan global memungkinkan penggemar di Indonesia terhubung dengan penggemar H2H dari seluruh dunia, memperkuat identitas bersama mereka.

Melalui platform seperti Instagram, TikTok, Youtube dan X yang sebelumnya bernama Twitter, bahkan Weverse (aplikasi Idol K-pop) penggemar dari Indonesia tidak hanya mengikuti grup H2H, tetapi juga berkolaborasi dalam membangun narasi dan mempengaruhi tren K-pop global.

Namun, dalam dunia digital yang cepat ini, heuristics dan bias kognitif juga memainkan peran besar dalam memperkuat hubungan emosional antara fans dan Carmen. Halo effect membuat penggemar lebih menerima segala pencapaian Carmen tanpa mempertimbangkan kritik. Sementara itu, confirmation bias memperburuk polarisasi di media sosial, di mana fans hanya menerima informasi yang menguatkan pandangan positif mereka terhadap grup dan menanggapi kritik dengan serangan kolektif.

Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana aksi kolektif berkembang di dunia digital. Melalui voting massal dan streaming bersama, penggemar H2H mengorganisir diri mereka untuk mendukung idol mereka secara terkoordinasi. Hal ini mencerminkan bagaimana identitas sosial terbentuk dalam komunitas digital, di mana solidaritas penggemar H2H tidak hanya terbatas pada ruang pribadi tetapi juga melalui aksi kolektif yang lebih luas.

Lebih dari itu, media sosial berperan sebagai kekuatan besar dalam membentuk opini publik. Platform seperti Instagram, YouTube, TikTok, dan X yang sebelumnya bernama Twitter, bukan hanya mempromosikan konten, tetapi juga menentukan konten mana yang mendapat perhatian lebih, memperkuat pengaruh fanbase di tingkat global. Dalam konteks ini, penggemar H2H bukan hanya konsumen budaya global, tetapi juga agen yang aktif dalam mempengaruhi tren dan budaya digital.

Fenomena Carmen dan H2H di Indonesia bukan hanya tentang musik. Melainkan tentang bagaimana media sosial telah menciptakan ruang bagi penggemar untuk membentuk identitas kolektif mereka, berinteraksi dengan budaya global, dan berkolaborasi dalam komunitas digital yang semakin mengglobal. Hal ini merupakan simbol bahwa globalisasi budaya kini lebih bersifat dua arah yaitu menghubungkan dunia, tetapi tetap memperkuat akar lokal yang ada.

* Penulis adalah Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta