Reduksi Ilmiah dalam Ilmu Sosial Modern dan Cara Kembali ke Semangat Awal Comte

Maximus Gorky Sembiring (kanan) & Mohamad Pandu Ristiyono (tengah), Kedua Penulis adalah Dosen Universitas Terbuka, Tangerang Selatan-weradio.co.id-UT
JAKARTA, Weradio.co.id - Sejatinya, ilmu sosial kembali pada semangat asli: Menemukan hukum sosial bermakna, bermanfaat, dan berdampak untuk kehidupan manusia. Dicapai melalui observasi mendalam, keterlibatan etis, dan pemahaman utuh terhadap realitas.
Alkisah, ilmu sosial kontemporer kerap terjebak dalam statistikisme. Yakni dominasi statistik sebagai metode utama dan satu-satunya ukuran keilmiahan. Realita ini perlu ditilik ulang. Perlu mempertanyakan asumsi tersebut dengan menggali akar historis dan epistemologis dari positivisme Comte. Yang aslinya justru bertujuan mendalami keteraturan sosial melalui observasi holistik dan pendekatan moral.
Dengan mempertimbangkan kritik dari pemikir seperti Habermas, Flyvbjerg, dan Gould, kita perlu menyodorkan argumen bahwa ilmu sosial harus direhumanisasi, dengan statistik sebagai alat bantu, bukan fondasi tunggal. Artinya, perlu digelorakan pengembaliannya pada semangat asli positivisme. Yakni, menyelamatkan ilmu sosial dari penyempitan makna manusia dan penciptaan hukum masyarakat yang semu.
Pendahuluan
ilmu sosial, sebagai bidang yang mempelajari interaksi manusia dan dinamika masyarakat, saat ini menghadapi tantangan signifikan dalam pendekatan dan metodologi penelitiannya. Di tengah tuntutan untuk mengadopsi metode yang semakin ilmiah dan objektif, banyak praktisi terjebak dalam apa yang dikenal sebagai statistikisme pendekatan yang mereduksi kompleksitas sosial menjadi sekadar angka dan korelasi.
BACA JUGA:Akibat Ulah Oknum Suporternya, Persib Bandung Tidak Jadi Pertandingan Pembuka Super League
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang esensi ilmu sosial itu sendiri dan bagaimana kita memahami tindakan serta makna di baliknya. Auguste Comte, sebagai pelopor positivisme, membayangkan ilmu sosial sebagai sebuah disiplin yang berupaya menemukan hukum sosial melalui observasi holistik yang mencakup dimensi moral dan historis.
Namun, dalam praktik modern, banyak peneliti yang beralih ke pendekatan kuantitatif yang sempit, mengabaikan konteks dan makna yang menjadi jantung dari ilmu sosial. Dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi pergeseran dari positivisme ke statistikisme, mempertanyakan validitas pendekatan kuantitatif yang dominan, dan menawarkan argumen untuk mengembalikan ilmu sosial kepada semangat asalnya yang lebih humanistik.
Dengan demikian, diharapkan ilmu sosial dapat berkembang sebagai panduan yang lebih bermakna untuk memahami dan memperbaiki masyarakat.
Ilmu sosial masa kini seoertinya menghadapi krisis epistemik. Di satu sisi, ada tuntutan untuk semakin ilmiah, objektif, dan terukur. Di sisi lain, pendekatan kuantitatif yang dominan justru mengikis kedalaman makna sosial yang menjadi jantung ilmu sosial itu sendiri.
BACA JUGA:Satgas Pangan Polri Sita 12,5 Ton Beras Oplosan di Sidoarjo
Fenomena ini sering disebut sebagai statistikisme. Yakni reduksi terhadap realitas sosial menjadi sekadar angka dan korelasi. Ironisnya, pendekatan ini kerap mengklaim dirinya sebagai penerus warisan positivisme Comte. Padahal justru menyimpang dari semangat aslinya.
Untuk itu, perlu kelapangan untuk menjawab kegalauan fundamental berikut: (i) Apakah regresi statistik bisa menggantikan pemahaman tindakan sosial? (ii) Apakah mungkin tetap ilmiah tanpa statistik? (iii) Apakah pendekatan kuantitatif modern merupakan bentuk penyimpangan dari epistemologi positivisme? (iv) Bagaimana seharusnya ilmu sosial ber(di)kembangkan berdasarkan positivisme Comte?
Positivisme Asli Versus Statistikisme
Dalam Cours de Philosophie Positive, Auguste Comte membayangkan ilmu sosial (sociologie) sebagai cabang ilmu yang mempelajari keteraturan sosial sebagaimana ilmu alam mempelajari hukum alam. Namun keteraturan sosial tidak pernah bersifat mekanistik. Ia lahir dari proses historis, moral, dan institusional. Oleh karena itu, bagi Comte, observasi sosial harus mencakup dimensi moral dan historis, bukan semata korelasi numerik.
Ironisnya, dalam praktik modern, positivisme direduksi menjadi semata penggunaan statistik. Proliferasi regresi linear, model struktural, dan indeks-indeks sosial (acap tidak memahami konteks kultural dan makna tindakan) kemudian mengubah ilmu sosial menjadi mesin pengukur, bukan penafsir.
BACA JUGA:24 Negara Ikut Serta, Surabaya Siap Gelar Kejuaraan Dunia Voli Putri U-21
Ian Hacking (The Taming of Chance) menunjukkan bagaimana statistik mengubah cara kita memahami probabilitas sosial. Yakni dari sesuatu yang reflektif menjadi instrumen kontrol dan klasifikasi. Sejatinya, bukan ini asa dan jalan yang diinginkan Comte.