Pertarungan Simbol Jilbab di Turki, Dari Larangan Negara Menuju Kemenangan Politik

Pertarungan Simbol Jilbab di Turki, Dari Larangan Negara Menuju Kemenangan Politik

Yollanda Vusvita Sari, M.Pd-weradio.co.id-Dok.Pribadi

O   P   I   N   I

----------------

(Yollanda Vusvita Sari, M.Pd. Dosen Prodi Komunikasi IBI Kosgoro 1957 dan Wakil Ketua DPLN AMPI Turki)

Lanskap politik Turki modern tidak dapat dipisahkan dari warisan Mustafa Kemal Atatürk, sang bapak pendiri republik, yang dengan tegas memisahkan agama dan negara. Dalam proyek modernisasinya yang ambisius, sekularisme tidak sekadar menjadi prinsip negara, tapi sebuah ideologi resmi yang harus dijaga ketat. Simbol-simbol keagamaan, termasuk jilbab, secara sistematis disingkirkan dari ruang publik, khususnya di institusi negara dan pendidikan. Jilbab bukan lagi sekadar kain penutup kepala, melainkan dianggap sebagai ancaman terhadap identitas sekuler Turki yang masih rapuh.

Militer, yang mengemban mandat sebagai "the guardian of secularism", tak segan turun tangan, seperti yang terjadi pada kudeta 1997 yang menggulingkan Perdana Menteri Necmettin Erbakan dari Partai Refah yang dianggap terlalu mengedepankan agenda Islamis. Dalam kerangka interaksionisme simbolik, pada era ini negara melalui otoritasnya berhasil memproduksi dan memaksakan makna dominan: jilbab adalah simbol "ketidakpatuhan" dan "ancaman" terhadap tatanan sekuler. Setiap pintu kampus atau kantor pemerintah yang menolak perempuan berjilbab adalah "laboratorium makna" di mana definisi negara itu direproduksi dan dialami secara langsung.

Konflik simbolik jilbab di Turki berakar sejak 1968 kweetika mahasiswi Hatice Babacan menolak melepas jilbab di universitas. Perlawanan serupa terjadi pada 1998 saat seorang mahasiswi dilarang masuk Universitas Istanbul karena jilbabnya. Puncak kontroversi terjadi pada Mei 1999 ketika Merve Kavakçı, anggota parlemen terpilih dari Partai Kebajikan, dicegah mengambil sumpah jabatan karena jilbabnya. Insiden ini memicu kecaman keras di parlemen dimana anggota sekuler meneriakkan "keluar!" selama 30 menit, sementara Perdana Menteri Bülent Ecevit menuduhnya melanggar prinsip sekularisme. Kavakçı bahkan diselidiki jaksa atas tuduhan provokasi kebencian agama. Reaksi global pun muncul, dengan dukungan dari Iran dan demonstrasi ratusan perempuan Turki.

Tragedi lain menimpa Nuray Bezirgan pada 2000 yang dihukum enam bulan penjara karena mengenakan jilbab saat ujian akhir dengan tuduhan 'menghalangi pendidikan orang lain'. Yang mencengangkan, Pengadilan HAM Eropa mengukuhkan larangan ini pada 2004 dan 2006, menyatakan aturan Turki tidak melanggar Konvensi HAM Eropa. Keputusan ini menunjukkan betapa legitimasi internasional berpihak pada narasi sekularisme keras. Pada 2006, Presiden Turki saat itu Ahmet Necdet Sezer bahkan menolak kehadiran politisi AKP yang istrinya berjilbab di pesta dansa kenegaraan dengan alasan menjaga pemisahan masjid dan negara.

Negosiasi Makna dan Kebangkitan Politik Islam

Teori interaksionisme simbolik Herbert Blumer mengajarkan bahwa makna tidak pernah final. Ia terus-menerus dinegosiasikan melalui proses interpretif oleh para aktor. Larangan keras justru memicu resistensi dan reinterpretasi. Bagi jutaan perempuan Muslim Turki, jilbab semakin bermakna sebagai simbol martabat, kesalehan, dan identitas yang tidak bisa dikompromikan. Penindasan justru mengubahnya menjadi 'master symbol' yang mempersatukan gerakan kolektif. Demonstrasi, aksi protes, dan pembicaraan di ruang publik menjadi arena dimana makna jilbab dipertautkan dengan narasi hak asasi manusia, keadilan, dan kesetaraan kesempatan.

Pada titik inilah Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Recep Tayyip Erdogan memainkan peran krusial. Belajar dari jatuhnya Erbakan, Erdogan tidak frontal menantang sekularisme dengan retorika agama. Sebaliknya, ia mengalihkan wacana ke bahasa universal yaitu hak asasi manusia dan kebebasan individu. Dengan strategi ini, ia membingkai ulang perjuangan melarang jilbab bukan sebagai proyek Islamisasi, tetapi sebagai bentuk diskriminasi yang menghalangi akses pendidikan dan karir bagi perempuan.

Ini adalah "definition of the situation" baru yang cerdik, yang mempersulit kelompok sekuler untuk menolaknya tanpa terlihat anti-demokrasi. Pengalaman pribadi istri para pimpinan AKP seperti Emine Erdogan dan Hayrunnisa Gul yang juga menghadapi hambatan karena jilbab, menjadi 'significant symbol' dalam teori George Herbert Mead sebuah narasi personal yang mudah dipahami dan membangkitkan empati publik, menghubungkan perjuangan jilbab dengan kisah keluarga dan keterwakilan kelas menengah religius.

Pertarungan politik memuncak pada 2008. Parlemen yang dikuasai AKP mengesahkan amandemen konstitusi yang mencabut larangan jilbab di universitas dengan dukungan mayoritas 403-107. Namun, Mahkamah Konstitusi yang sekuler membatalkannya. Keputusan ini menunjukkan dalamnya jurang antara negara hukum dan kehendak mayoritas elektoral. Ribuan demonstran pro-sekuler turun ke jalan, mencerminkan ketakutan akan erosi identitas nasional. Pertarungan ini adalah puncak dari ketegangan antara dua definisi situasi yang bertolak belakang.

Kemenangan Politik dan Redefinisi Simbol

Keberhasilan AKP akhirnya datang melalui ketekunan dan perubahan konstelasi politik. Melalui paket demokratisasi pada 2013, larangan jilbab di lembaga publik, kecuali militer dan kepolisian, resmi dicabut. Pencabutan ini bersifat bertahap yaitu di Universitas Negeri (2013), Sekolah Menengah (2014), Kepolisian (2016), dan akhirnya Militer (2017). Perubahan kebijakan ini adalah bentuk rekonstruksi makna institusional melalui bahasa hukum dan praktik administratif. Sesuai teori Blumer, perubahan makna mengubah tindakan. Perempuan berjilbab yang sebelumnya "outsiders" kini dapat memasuki ruang-ruang publik sebagai warga negara seutuhnya, mengubah etiket dan norma sosial secara perlahan.