Peringatan Hari Pustakawan: Profesi Pustakawan Kerap Alami Marginalisasi

Peringatan Hari Pustakawan: Profesi Pustakawan Kerap Alami Marginalisasi

Di tengah euforia perayaan hari pustakawan, terdapat ironi yang masih terasa hingga kini: profesi pustakawan kerap mengalami marginalisasi.-weradio.co.id-Istimewa

TANGERANG SELATAN, Weradio - Setiap tanggal 7 Juli, Hari Pustakawan diperingati sebagai bentuk apresiasi terhadap dedikasi para pustakawan dalam membangun peradaban melalui literasi dan pengelolaan informasi.

Namun, di tengah euforia perayaan tersebut, terdapat ironi yang masih terasa hingga kini: profesi pustakawan kerap mengalami marginalisasi. Menurut Mohamad Pandu Ristiyono, pustakawan sering kali dipandang sebelah mata, hanya dianggap sebagai penjaga buku, bukan sebagai agen perubahan di era informasi yang serba cepat.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan reflektif: Marginalisasi pustakawan, salah siapa? Apakah sistem pendidikan, kebijakan institusi, masyarakat, atau justru pustakawan sendiri yang turut andil dalam melanggengkan kondisi ini?

Melalui tulisan refleksi ini, kita akan menelusuri akar persoalan marginalisasi pustakawan dan mengajak semua pihak untuk merenungkan peran strategis pustakawan dalam membangun masyarakat literat dan berpengetahuan.

BACA JUGA:Kolaborasi Sejumlah Organisasi Hadirkan Orphan Outing Class

Banyak pustakawan di lembaga atau kementerian yang dialihfungsikan ke posisi fungsional lain, seolah-olah peran mereka tidak lagi relevan.

Begitu juga di Perguruan tinggi, karir pustakawan dibelenggu oleh yang namanya “Peta Jabatan” sehingga karir pustakawan mentok, padahal usia pensiun masih jauh. Apakah ini kesalahan pustakawan itu sendiri, atau ada faktor lain yang berkontribusi?

Isu marginalisasi pustakawan masih menjadi perdebatan karena menyangkut perubahan paradigma, tantangan struktural, dan tuntutan adaptasi di era digital. Selama stereotip, keterbatasan dukungan, dan tantangan internal belum teratasi, diskursus ini akan tetap hidup dan relevan dalam dunia perpustakaan.

Pustakawan: Lebih dari Sekadar Tukang Dorong

Dalam banyak kasus, pustakawan sering dipandang sebagai "tukang dorong mobil mogok", hanya ada saat dibutuhkan, tapi tidak dianggap penting dalam perencanaan strategis.

BACA JUGA:Kolaborasi FKM UI dan ITKJ, Latih Kader Periksa Gula Darah

contoh untuk perpustakaan Universitas, saat ada assesor Borang Akreditasi Perpustakaan dan pustakawan sangat diperhatikan karena merupakan instrument dari akreditasi, setelah itu pustakawan terpinggirkan, Ini adalah gambaran yang menyedihkan dari potensi yang sebenarnya dimiliki oleh pustakawan.

Mereka adalah penjaga pengetahuan, penghubung informasi, dan pendidik masyarakat. Namun, ketika peran mereka dikurangi menjadi sekadar tugas administratif atau teknis, kita kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan keahlian mereka.

Pustakawan: Profesi yang Terpinggirkan

Tak dapat disangkal, pustakawan adalah garda depan pengelolaan pengetahuan dan informasi. Namun, ironisnya, banyak institusi justru menganggap peran pustakawan bisa digantikan dengan mudah.

Di sejumlah kementerian dan lembaga, pustakawan dialihkan ke jabatan fungsional lain, seolah-olah keahlian mereka tidak lagi relevan di era digital. Padahal, transformasi digital seharusnya menjadi momentum bagi pustakawan untuk unjuk gigi sebagai pengelola data, kurator informasi, hingga pendukung literasi digital.

BACA JUGA:Banjir di Kabupaten Bogor Sudah Berdampak ke 33 Desa, Salah Satunya Area Puncak

Salah Siapa?

Pertanyaan “salah siapa?” tentu tidak sederhana. Ada beberapa pihak yang patut bercermin:

1. Pemerintah dan Pengambil Kebijakan
Regulasi tentang jabatan fungsional pustakawan memangada, namun implementasinya kerap setengah hati. Banyak lembaga lebih memilih menambah jabatan fungsional lain yang dianggap lebih “strategis” tanpa memahami peran pustakawan dalam mendukung visi organisasi.

2. Pimpinan Lembaga
Kurangnya apresiasi dan pemahaman terhadap tugas pustakawan membuat mereka kerap dianggap sebagai pelengkap, bukan kebutuhan utama. Akibatnya, pustakawan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan strategis, apalagi dalam proses digitalisasi.

3. Pustakawan Sendiri
Tak dapat dimungkiri, sebagian pustakawan masih terjebak dalam zona nyaman, enggan berinovasi, dan kurang membangun jejaring profesional. Padahal, tantangan zaman menuntut pustakawan untuk terus belajar, beradaptasi, dan membuktikan bahwa profesi ini relevan dan vital.

Pustakawan juga perlu berperan aktif dalam mempromosikan pentingnya posisi mereka di dalaminstitusi. Ini termasuk menunjukkan bagaimana mereka dapat berkontribusi pada tujuan strategis organisasi.

BACA JUGA:Solusi Awal Gubernur Pramono Anung Atasi Banjir Jakarta

Marginalisasi pustakawan berdampak sistemik padapengembangan perpustakaan nasional: menurunkan kualitaslayanan, menghambat inovasi, memperlambat transformasidigital, serta mengurangi kepercayaan dan partisipasimasyarakat. Untuk itu, penguatan peran pustakawanprofesional menjadi kunci utama kemajuan perpustakaannasional di era informasi dan digitalisasi.

Penurunan Kualitas Layanan dan Inovasi

Marginalisasi pustakawan, seperti alih fungsi ke jabatan lain atau pengurangan peran profesional mereka, berdampak langsung pada kualitas layanan perpustakaan nasional. Pustakawan adalah aktor utama dalam pengelolaan, inovasi, dan pengembangan layanan perpustakaan.

Ketika peran mereka dipinggirkan, perpustakaan kehilangan sumber dayamanusia yang kompeten dan profesional, sehingga inovasi layanan, adaptasi teknologi, dan pengembangan koleksi menjadi terhambat.

Menurunnya Kepercayaan dan Akreditasi

Keberadaan pustakawan tersertifikasi sangat berpengaruh terhadap akreditasi perpustakaan dan kepercayaan masyarakat.

BACA JUGA: Prakiraan Cuaca Wilayah Jakarta dan Sekitarnya pada Senin Pagi dan Malam Hari

Jika perpustakaan tidak dikelola oleh pustakawan profesional, maka standar layanan sulit dicapai, yang pada akhirnya menurunkan kepercayaan publik terhadap perpustakaan nasional.

Hal ini juga berdampak pada rendahnya minat kunjungan dan pemanfaatan perpustakaan oleh masyarakat.

Stagnasi Transformasi Digital

Perpustakaan nasional dituntut untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi. Marginalisasi pustakawan, terutama yang tidak diberi ruang untuk meningkatkan kompetensi digital, membuat perpustakaan tertinggal dalam transformasi digital.